Zufallswahl
Am Beliebtesten
Das Neueste
Letzte Briefe
Von: Bibin
Geschrieben : 21-09-2018
Wird versandt : 01-09-2019
Beginilah awal mulanya,
Aku ingin engkau mengetahui permulaan dari kisah ini. Tidak semata-mata karena aku ingin kau memahami perasaan buncahku saat ini, tetapi karena aku sendiri pun ingin mengingat kisah ini dengan lebih jelas saat memoriku tak mampu mengingatnya lagi.
Berawal dari Asian Games 2014, di Incheon, Korea Selatan. Sebuah negara yang kugemari dan kudamba selama ini. Seperti yang kita semua tahu bahwa saat sebuah perhelatan besar berlangsung, pihak panitia atau federasi telah menentukan jauh-jauh hari sebelumnya dimana berlangsungnya perhelatan itu selanjutnya. Sama halnya dengan Asian Games 2014, saat itu telah ditentukan bahwa Jakarta, Indonesia menjadi tuan rumah perhelatan ini.
Pada tahun itu, 2014 aku adalah penggemar berat dari Park Tae Hwan, seorang perenang kelas dunia yang berasal dari Korea Selatan. Ia mengikuti dan memenangi beberapa Masa-masa itu menjadi sebuah saat aku mendamba untuk bertemu dengan sang perenang yang menjadi inspirasi. Oleh karena itu, saat mengerti bahwa tuan rumah selanjutnya berada di negaraku, aku merasa memiliki harapan. Saat itu juga, aku memiliki ambisi untuk menjadi volunteer Asian Games 2018 di Jakarta.
Jangan bayangkan keadaan saat ini. Saat kau telah mengetahui akhirnya. Bayangkan seorang gadis biasa yang tak pernah memiliki cukup uang bahkan untuk membeli baju baru apalagi liburan ke luar kota. Tidak ada yang tahu kehidupannya 4 tahun ke depan dan tidak ada lagi rencana untuk bekerja maupun menetap di Jakarta semenjak dia memasuki bangku kuliah. Jadi sejatinya ambisi itu tak pernah dibarengi dengan kemampuan ataupun rencana yang cukup.
Seiring berjalannya waktu, kejadian demi kejadian yang terjadi pada sang perenang idola. Park Tae Hwan belum bisa dipastikan untuk menghadiri Asian Games 2018 dan ambisiku pun memudar. Pembukaan perekrutan volunteer Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang dibuka sejak tahun 2017. Sesungguhnya keinginanku untuk bisa menjadi salah satu relawan masih membuncah, tidak lagi karena sang perenang idola, tetapi sebuah imaji bahwa aku akan bertemu banyak wajah asing, mengizinkanku untuk memaksimalkan penggunaan bahasa inggrisku kembali sembari berbakti pada negara di event berskala Asia akan menjadi sebuah pengalaman yang tak akan pernah tergantikan. Namun saat itu aku hampir menyelesaikan masa kuliahku dan mewajibkanku untuk mencari sebuah pekerjaan tetap. Masaku untuk bereksplorasi sesungguhnya telah usai dan aku menginginkan diriku segera mampu membantu orang tuaku. Aku pun mengubur ambisiku rapat-rapat.
Kau mungkin masih mengingat bahwa aku tidak memiliki rencana untuk tinggal maupun bekerja di Jakarta. Bagiku kota itu terlalu keras, terlalu sibuk, dan aku tidak ingin menyelam di dalam hiruk pikuknya. Kemudian kau pun mengerti bahwa hidup memberikan kejutan-kejutannya masing-masing. Hidupku tak jauh darinya. Pada bulan Desember 2017, aku lolos dalam seleksi kerja di sebuah bank syariah nasional. Pelatihan dari program yang kujalani ini berlangsung dalam jangka waktu satu tahun di Jakata sebelum nantinya aku harus siap untuk ditempatkan di seluruh wilayah Indonesia. Berkemaslah aku ke ibukota yang selama ini kuhindari.
Sedikit banyak, semesta membawaku kepada ambisi yang telah terkubur dalam. Tidak, tidak sebagai volunteer, tetapi sebuah kesempatan untuk menikmati perhelatan tersebut. Juli 2018, saat itu aku mengerti, bahwa sang perenang idola memutuskan untuk tidak berpartisipasi di dalamnya.
Terdapat dua cabang olahraga yang ingin kunikmati, renang dan basket. Saat ini renang tidak lagi termasuk dalam daftar itu semenjak Park Tae Hwan dipastikan untuk tidak mengikuti perhelatan itu. Sedangkan basket adalah cabang olahraga yang selalu menjadi tempat pelarianku selama ini. Aku menikmati setiap suara decitan sepatu pemain dengan lantai dan dentuman bola saat menyentuh lantai dan ring. Aku tidak bisa bermain basket. Kemampuanku nihil di olahraga tersebut dan aku tidak pernah benar-benar berkeinginan untuk mempelajarinya. I am a full timer fans and supporter at the basketball games. Namun, saat ini pun basket sudah terasa jauh dariku semenjak banyaknya pemain yang kukenali dan kukagumi pensium dalam dunia ini. Sebut saja Wijaya Saputra, Freddy Chen, Dimaz Muharri, Ernest Koswara dan pemain-pemain lainnya yang kini telah menjejaki fase berikutnya dalam kehidupan mereka masing-masing. Lapangan-lapangan yang dahulunya menjadi tempatku melampiaskan seluruh lara dan frustasiku kini ikut menjadi asing. Aku pun memutuskan untuk tidak menyaksikan keduanya dalam Asian Games 2018.
Suatu waktu benakku membawaku pada pertandingan basket putra antara China dengan Philippines. Aku tak pernah benar-benar mengerti apa yang membuatku tertarik untuk menghubungkan diriku dengan live streaming pertandingan tersebut di ponselku. Aku menganggapnya sebagai rasa penasaran murniku kepada Jordan Clarkson, salah seorang pemain NBA yang menjadi pelengkap salah satu tim negara ASEAN itu. Tampaknya pertandingan yang tidak kusaksikan secara penuh itu membawaku kepada perjalanan-perjalanan berikutnya.
Awalnya ketertarikanku beralih dari Jordan Clarkson menuju kepada pemain dari negeri tirai bambu bernomor punggung 31 bernama Wang Zhelin. Wajahnya yang menarik dan permainannya yang apik membawaku untuk mengulik lebih dalam terhadap tim China. Tak lama kemudian aku diperkenalkan kepada sang #23, seorang pemain apik dengan wajah yang tampak berbeda dengan pemain China lainnya dan nama yang sangat sulit untuk dieja. Aku tak pernah benar-benar mampu dan mau bersusah payah mengucapkan namanya dengan benar.
Abudushalamu Abudurexiti. Nama itu adalah sebuah kejutan lainnya yang tak pernah kusangka sebelumnya. Tak pernah sedikitpun aku mengira bahwa aku akan tertarik begitu dalam kepadanya. Namun, tampaknya ketertarikanku datang terlalu lambat. Saat semua tiket telah habis terjual dan calo-calo usil menjual tiket dengan harga 3-4 kali lipat dari harga aslinya. Tanpa benar-benar kusadari, ketertarikanku padanya muncul saat pertandingan 8 besar. Setiap kesempatan yang muncul tak pernah kuambil karena keraguanku terhadap rasaku sendiri dan saat aku menyadarinya, kesempatan itu telah lama hilang.
Rasa sesal dan kesedihan hati semakin besar di setiap hilangnya kesempatan yang ada. Namun di saat yang sama, keinginan untuk dapat berfoto serta bertemu dengan Abu terasa semakin mendesak. Tampaknya Asian Games 2018 memang tak pernah berjodoh denganku. Dan setiap sisa pertandingan China yang kulewati, semakin mendesak rasa yang kumiliki.
Final akan dilaksanakan esok hari dan kebimbanganku semakin menjadi. Sudah beberapa kali aku hendak membayar tiket dari calo yang berjumlah tiga kali lipat dari harga asli. Namun, tampaknya keraguanku akan calo pun yang akhirnya mengurungkan niatku untuk membelinya.
Kehabisan cara maupun strategi, aku pun berpikir untuk datang ke dalam area GBK, dalam istora senayan lebih tepatnya dan menunggu pertandingan hingga sang pemain keluar untuk menyerahkan sebuah card holder untuknya dan mengambil satu-satunya kesempatan untukku berfoto dengan Abudushalamu Abudurexiti.
Kesempatan itu pun bukan menjadi sebuah kesempatan yang mudah untukku. Aku tak tahu dimana tempat keluar sang pemain, aku tak tahu apakah aku bisa mendapatkan kesempatan untuk sekadar menyapanya, berapa banyak fans yang akan berebut denganku, berapa banyak waktu yang kumiliki sebelum ia masuk ke dalam bus. Kemungkinan yang kumiliki sesungguhnya sangat kecil dan bahkan hampir tidak ada sama sekali. Kemungkinan itu pulalah yang dikatakan oleh banyak penggemar basket yang kukenal.
Saat itu, hari sabtu dan aku semakin tak menentu. Inginkah aku setidaknya mencoba dengan risiko untuk kecewa lebih besar ataukah aku menyerah terhadap harapan kecil itu dan menikmati pertandingan final dari tempat tidurku. Aku pun hendak memilih opsi kedua hingga kecemasanku akan hilangnya kesempatan yang entah kapan dapat kumiliki lagi lebih menggangguku dibandingkan dengan kekecewaan yang nanti kudapatkan akan usaha yang gagal. Aku pun mengambil handukku dan mulai melangkah.
Tantangan pertama yang kuhadapi adalah sebuah kemungkinan bahwa aku tidak bisa masuk ke dalam area GBK. Suasana antrian tiket sudah sesak dipenuhi oleh berbagai macam manusia. Ratusan manusia menyesaki jembatan penyebrangan orang mengantri untuk mendapatkan tiket, terdapat isu bahwa tiket untuk memasuki area GBK telah habis. Aku yang tak tenang pun melangkah pergi dari gate 6 dan mencoba menuju ke gate 7 saat beberapa orang mengatakan bahwa gate 7 cenderung lebih sepi antrian. Namun, langkahku terhenti di antrian antara gate 6 dan gate 7, sebuah ticket box darurat yang dihadirkan untuk mengurangi antrian. Tak berapa lama, aku pun mendapatkan tiket memasuki area GBK, sebuah kelegaan yang sangat besar mengetahui bahwa perjuangan pertamaku tidaklah berakhir sia-sia dan kesempatan itu tidak musnah dengan cepat.
Aku pun segera menuju ke lapangan istora, tempat berlangsungnya pertandingan final sembari berharap ada calo yang bersedia untuk menjual tiket dengan harga normal. Sayangnya, kesempatan itu tidak pernah datang dan aku berhenti berharap. Kunyalakan ponselku dan memutuskan untuk fokus terhadap live streaming dan menikmati pertandingan dibandingkan mengharap kesempatan yang illegal. Jangan kau tanyakan kepadaku betapa bangganya aku pada pemain bernomor punggung #23. Ketenangan bermainnya, nihilnya foul atau pelanggaran, shoot-shoot apik yang mampu menyeimbangkan poin dengan lawan, dan ekspresi selebrasinya yang menyenangkan membuatku buncah. Ia adalah sosok pemain yang sangat tenang dan bahkan cenderung tidak berekspresi. Namun, kali ini ia menunjukkan kebahagiaan-kebahagiaan akan pencapainya.
Segera setelah pertandingan berakhir dan kemenangan telah dimiliki oleh China, aku segera menuju ke tempat keluarnya atlet. Meski aku tahu dibutuhkan waktu yang cukup lama hingga sang tim juara keluar, aku tak ingin melewatkan sedikit pun sisa kesempatan yang kumiliki untuk bisa memberikan barang sederhana dari kulit sapi asli ini.
Saat berada di pagar yang membatasi antara jalan khusus atlet dan jalan umum, aku melihat seorang perempuan yang sedang berbincang dengan salah seorang panitia pelaksana. Ia bercerita bahwa ia bisa berbahasa mandarin dan sedang menunggu para pemain cina untuk berbincang dan memberikan barang. Aku pun segera masuk ke dalam pembicaraan mereka dengan mengatakan bahwa aku ingin sekali untuk bertemu dan memberikan barang untuk Abu. Tanpa disadari bahwa sang perempuan terbuka kepadaku dan menunjukkan sebuah tempat yang bisa kudatangi dan memberikan barang itu bila ternyata tim China telah masuk ke dalam bus dari dalam. Perempuan itu lah yang menjadi pembuka kesempatan sekaligus teman dalam perjalanan ini.
Tempat yang ditunjuknya berada di balik pagar tepat di depan tempat keluarnya para atlet dari gedung istora. Tempat itu berupa taman yang tampak layaknya hutan mini akibat pohon-pohon tinggi dan minimnya penerangan. Tak ada fans yang menunggu di area tersebut karena tidak ada manusia yang terpikir untuk mendatanginya. Hanya terdapat satu-dua penjaga booth yang sedang beristirahat beralas kardus dan karpet. Hal itu menjadi tempat yang paling strategis untuk kami menunggu,
Tak ada perkenalan antara aku dan sang kakak perempuan itu. Tak ada pula yang berinisiatif untuk mulai memperkenalkan diri. Kami mengerti bahwa pertemuan kami murni berlandaskan misi dan kecintaan yang sama sehingga kami diam-diam mengerti bahwa hubungan kami pun usai saat misi tersebut usai. Meski begitu tak ada rasa canggung diantara kami. Sang kakak menceritakan ketertarikan dan hubungannya dengan tim-tim cina selama waktu-waktu menunggu. Ia membagikan ilmu demi ilmu serta pengalaman-pengalamannya berinteraksi dengan tim-tim cina yang dikenalnya.
Entah berapa lama kami menunggu di tempat itu, duduk beralas kardus berteman nyamuk dan daun-daun yang berjatuhan satu per satu sembari memicingkan mata melihat setiap pergerakan yang ada di dalam gedung. Satu jam lebih telah terlewati, setiap atlit-atlit dari negara lain yang membawa pulang medali perak dan perunggu telah keluar dan kembali ke wisma atlet. Pemain-pemain putri China juga telah lama meninggalkan gedung.
Waktu saat itu menunjukkan sekitar pukul 10.45 malam saat pemain-pemain yang memiliki tinggi rata-rata 2 meter mulai keluar dari gedung. Aku melihat di kejauhan Abudushalamu Abudurexiti sedang tertahan oleh beberapa volunteer yang ingin berfoto dengannya. Tak heran ia kini menjadi favorit banyak perempuan. Penyandang top scorer dalam laga final melawan Iran ini memang memiliki wajah yang tampan dan ia juga pemeluk agama Islam yang menambah nilai positif darinya bagi perempuan muslim di Indonesia.
Setelah berhasil keluar dari sesi foto dadakan, Abu pun berlari tergesa mengejar teman-temannya yang sudah jauh mendahuluinya. Begitu ia keluar dari gedung, aku pun segera meneriaki dirinya, namun saat itu ia sedang fokus untuk mengejar teman-temannya dan tidak menyadari keberadaanku yang berada dalam kegelapan.
“Kejar dia,” teriak sang kakak perempuan terhadapku.
“Abu!! Abu!! This is for you!” teriakku sekencang dan sekuat mungkin sambil berlari. Berharap bahwa dia menyadari keberadaanku.
Tampaknya teriakanku terdengar olehnya dan melihat ke arahku. Aku pun mengacungkan barang yang kubawa ke dalam pagar sembari mengatakan sekali lagi bahwa barang itu untuknya. Menyadari hal itu, dia pun datang ke arahku. “Thank you,” ucapnya sambil mengambil barang yang kuberikan untuknya dari balik pagar. Aku pun mengacungkan kamera polaroidku padanya sebagai tanda bahwa aku ingin memfoto dirinya. Dia, yang saat itu hendak kembali berlari pun berhenti sejenak dan berpose untukku, menunjukkan senyum yang ia miliki dan jarang ia tunjukkan. Setelahnya aku berhasil menangkap dirinya melalui lensaku, Abu segera kembali berlari menyusul rekannya.
Benar saja, begitu ia keluar dari area khusus pemain, banyak penggemar pun mengerubunginya. Meminta dan memaksa untuk berfoto bersama dengannya. Saat itu, hasil foto yang kujepret tadi mulai tampak dan aku menyadari bahwa ada hal yang salah dari foto itu. Namun aku juga mengerti bahwa kesempatanku mendapatkan fotonya telah usai. Dia kini sedang berusaha berlari menuju bus diantara kerumunan penggemar yang sedang berusaha mengambil gambarnya.
Entah apa yang kurasakan tepat saat itu begitu aku menyadari bahwa foto yang kumiliki tidaklah sempurna. Penyesalan datang akan kebodohanku yang tidak membuang kipas di tanganku sejenak saat aku memotret dirinya. Padahal itu adalah kesempatan yang sangat ekslusif dan langka yang bisa kudapatkan tanpa harus berdesakan dengan penggemar lain. Sekian detik yang berharga yang kusia-siakan. Namun sejatinya foto itu adalah sebuah kumpulan dari keajaiban. Foto itu berhasil merekam tepat di wajahnya yang tampak berbahagia, lighting leaks yang muncul akibat kipas tangan yang kupegang tepat memotong di dagunya, menyisakan area kepalanya. Setidaknya foto itu tidak 100% rusak. Aku sesungguhnya adalah seorang perempuan yang sangat beruntung mendapatkan keajaiban itu semua.
Namun di balik itu semua, momen saat dia menoleh ke arahku dan kemauannya untuk datang kepadaku dan berhenti sejenak untukku adalah keajaiban yang terbaik diantara segalanya. Aku memiliki momen yang personal dengannya tanpa ada usikan dari manusia lainnya. A moment that I thought I would never have.

A journey that seems impossible,
An experience that only because of Allah SWT. allows it to be true then it became true,
A help from a stranger on the journey,
And a result from being persistence and stay believing with the unknown.
Alhamdulillah…
Teilen :
 
Zurück
 
 
Weiter
 
Satz des Tages
 
Ein Versprechen erstellen
 
Brief schreiben